Makna PTWP di Mata Warga Peradilan
Jakarta | badilag.mahkamahagung.go.id (16/9/2018)
Warga Peradilan di Indonesia baru saja selesai menggelar Turnamen Tenis Beregu Nasional sekaligus Kongres Persatuan Tenis Warga Peradilan (PTWP) XVII yang diselenggarakan dari tanggal 10 – 16 September 2018 di Bali. Hakim Agung Syamsul Ma’arif, S.H., LL.M., Ph.D terpilih sebagai Ketua Umum PTWP untuk periode 2018-2021.
Terkait penyelenggaraan turnamen tenis dan kongres PTWP di Bali, ada beberapa kritik seperti yang diungkap oleh Harian Nasional Kompas pada tanggal 12 dan 13 September 2018. Tapi bagaimana sebenarnya turnamen tenis PTWP di mata warga peradilan sendiri? Tulisan Syamsul Arief, Hakim Pengadilan Negeri Gunungsugih, Lampung Tengah seperti yang dipublish situs www.m.lampung.rilis.id pada tanggal 15 September 2018 sepertinya mewakili suara hati warga peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam memandang PTWP.
Berikut tulisan lengkap Syamsul Arief sebagaimana dimuat di http://m.lampung.rilis.id/Maju-Terus-PTWP-Sehat-dan-Bugar-Selalu-Warga-Pengadilan:
Maju Terus PTWP, Sehat dan Bugar Selalu Warga Peradilan
Saya tidak pernah mengurusi soal turnamen tenis ataupun Kongres Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP), meski sudah bertahun-tahun menjadi warga pengadilan.
Tapi kali ini perlu saya sampaikan opini saya agar pemberitaan di harian Kompas dua hari berturut (12-13/9) soal Turnamen Tenis Beregu Nasional Warga Pengadilan dan Kongres XVIII PTWP tanggal 10-16 September 2018 di Bali lebih berimbang. Kebetulan saat itu adalah kehadiran saya kali pertama seumur hidup di ajang tersebut.
Hal ini perlu saya sampaikan agar jangan sampai framing berita yang mengatakan adanya pungutan memaksa kepada hakim di daerah dalam kegiatan PTWP itu dianggap kebenaran seutuhnya. Jika opini ini dinilai adalah pembelaan, catat ini adalah pembelaan, meski bukan itu tujuan saya.
Olahraga itu penting, sama pentingnya dengan makan bergizi dan istirahat cukup agar hakim dan warga pengadilan sehat dan bugar. Menjadi warga pengadilan itu utamanya hakim harus sehat dan bugar. Tengoklah aturan-aturan disiplin kerja dan kode etik itu bunyinya nyaris dapat disimpulkan bahwa, “Hakim tidak boleh sakit”.
Kenyataannya, sering kita dengar banyak hakim meregang nyawa karena sakit jantung, stroke, hipertensi, dan diabetes atau bahkan komplikasi penyakit keempatnya. Nasib wafatnya tragis, mati sendiri jauh dari keluarga terkasih karena menjadi hakim harus siap ditempatkan di mana saja. Tanggungjawab pekerjaan dalam menyelesaikan berkas perkara bertumpuk di persidangan dengan dimensi tekanan psikologis adalah hari-hari yang dialami hakim dan warga pengadilan. Saya tidak sedang mendramatisasi tapi demikianlah adanya.
Maka penting hakim dan warga pengadilan menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya. Selain makan bergizi dan istirahat cukup, olahraga adalah keharusan. Tidak perlu ada perdebatan tentang ini.
Tapi tidak semua hakim dan warga pengadilan itu tergerak untuk secara sadar rutin berolahraga. Mendorong warga pengadilan untuk bugar sehat itu tidak mudah, kawan. Ini sama halnya dengan para ustaz dan alim ulama mengajak masyarakat untuk menjauh dari kemaksiatan dan berbuat kebaikan seperti perintah dalam anjuran agama. Ada saja yang sadar mau melakukannya tapi kebanyakan mereka ada juga yang tidak tergerak untuk itu. Maka penting adanya gerakan untuk mendorong warga pengadilan berolahraga, salah satu cara di antaranya di lembaga pengadilan adalah mengajak warganya olahraga tenis.Â
Pertandingan tenis beregu antar pengadilan yang dibuat oleh organisasi PTWP sudah sejak lama dibuat untuk menstimulasi kesadaran warga pengadilan untuk berolahraga.
Jika golf tidak dianjurkan untuk menjadi olahraga bersama warga pengadilan mosok tenis juga tidak diperbolehkan. Tenis itu olahraga sungguhan, berat, lelah, dan mengucurkan banyak keringat. Olahraga ini pasti membakar lemak, menurunkan kadar kolestrol, dan trigliserida. Jadi buat saya pertandingan tenis yang diadakan setiap tahun oleh PTWP itu semacam stimulus dan propaganda gerakan mengolahragakan warga pengadilan dan menyehatkan warga pengadilan. Hakim dan warga pengadilan yang malas berolahraga itu dengan adanya pertandingan tenis yang dibuat setiap tahun itu kan tergerak untuk belajar main dan mahir bertenis ria. Tentu konsekuensi dari menggerakan warga pengadilan bermain tenis menjadikan motivasi bagi warga pengadilan berlomba untuk bersiap pada tahun berikutnya mereka bisa terpilih mewakili dan membela wilayah pengadilannya dalam ajang pertandingan tenis di kota provinsi yang dipilih saat konggres PTWP. Ini sekaligus ajang bagi hakim bertemu dan bersilahturahim dengan para hakim senusantara dalam forum pertandingan tenis.Â
Lalu ada yang menyimpulkan ajang ini hanya semacam hiburan dan liburan, tidak banyak manfaat. Saya sanggah kesimpulan itu. Jika berolahraga tenis itu adalah ikhtiar untuk sehat dan bugar dan warga pengadilan yang ikut di ajang pertandingan itu lalu terhibur dan harus libur maka itu hanyalah akibat. Saya menilai sesungguhnya PTWP itu tidak bepretensi menjadikan hakim dan warga pengadilan itu menjadi atlet profesional tapi semata menjadikan olahraga sebagai lifestyle dalam keseharian hakim dan warga pengadilan. Jadi, tujuan utamanya tetap menjadikan warga pengadilan sehat dan bugar. Saya sendiri tidak main tenis, berkali-kali saya mencoba, tapi rasanya soul tidak dapat. Saya memilih olahraga lari saja.
Soal Iuran PTWP
Berita yang dimuat beberapa hari lalu di harian nasional seperti memojokan Mahkamah Agung dan PTWP karena frame news yang dibuat seolah adanya testimoni dari hakim-hakim daerah yang mengatakan adanya pungutan dana dalam pelaksanaan PTWP tersebut. Saya sebagai salah satu hakim di daerah perlu juga menyampaikan testimoni agar apa yang dikatakan adanya pungutan memaksa itu jangan sampai dianggap sebagai kebenaran.Â
Sejak saya menjadi warga pengadilan tahun 1999, penghasilan saya sudah saya sumbangkan untuk iuran organisasi PTWP dan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Apakah itu salah? Tidak salah. Organisasi itu perlu dana untuk menggerakkan roda organisasi. Sebagai anggota tentu saya mahfum ini adalah konsekuensi saya sebagai warga pengadilan. Saya ikhlas sebagaimana ikhlasnya gaji saya dipotong untuk BPJS, Taperum (Tabungan Perumahan), dan Korpri (korps pegawai negeri sipil) sejak pertama saya jadi aparatur sipil negara. Saya tidak perlu menanyakan ke mana potongan uang saya mengalir, hanya karena disebabkan saya tidak pernah sakit dan memanfaatkan kartu BPJS, saya bayar cicilan rumah tapi saya tidak pernah minta dana Taperum, saya merasa bukan pegawai negeri sipil tapi tiap bulan gaji saya dipotong iuran Korpri.Â
Sesungguhnya iuran itu memang benar adanya (terserah jika kamu mau mengatakannya pungutan, ini cuma soal olah kata dan sudut pandang). Iuran Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dipakai untuk menggerakan kegiatan IKAHI misalnya: Musyawarah Nasional membicarakan isu-isu teknis hukum dalam forum seminar yang digagas IKAHI, memberi tali asih buat keluarga pengadilan yang meninggal dunia, atau misalnya membantu korban bencana di Lombok-Mataram seperti yang dilaksanakan tanggal 14 September ini. IKAHI dan MA menyumbangkan donasi senilai 800 juta rupiah. Dari mana uangnya? Dari sumbangan sukarela. Demikian pula dengan organisasi PTWP tiap bulannya memang ada iuran, misalnya untuk hakim memberikan iuran sebesar Rp60.000/bulan (rincian : Rp20.000 untuk kas PTWP kabupaten, Rp20.000 untuk PTWP provinsi, dan Rp20.000, untuk PTWP pusat), Panitera Muda Rp45.000/bulan, Panitera Pengganti Rp30.000/bulan, staf pegawai Rp5000/bulan. Untuk apa uang itu? Ya untuk kepentingan olahraga tenis warga pengadilan.
Jadi iuran itu sesungguhnya sumbangan sukarela kalau tidak saya mau katakan kepatuhan sebagai warga pengadilan terhadap lembaga dan organisasi. Yang namanya sukarela tentu tidak memaksa. Jika ada warga pengadilan menyumbang tapi tidak rela itu artinya ada kesalahan berpikir sama salah berpikirnya jika ada pimpinan pengadilan yang memaksa agar anak buah menyumbang. Saya sebagai hakim di daerah dan warga pengadilan secara sadar dan sukarela bahkan sejak masuk menjadi warga pengadilan sudah menyadari maksud dan tujuan iuran-iuran tersebut, sehingga saya ikhlas-ikhlas saja memberi iuran. Saya membayangkan, apa jadinya organisasi partai politik atau organisasi sosial tanpa sumbangan wajib dan sukarela anggotanya. Atau kemudian kita ikut mempersoalkan iuran dan sumbangan sukarela oleh hakim-hakim di Malaysia, India, dan Australia untuk kegiatan paguyubannya? Jadi soal iuran ini terlalu berlebihan jika dipersoalkan.
Pelaksanaan Turnamen Tenis Beregu Nasional warga pengadilan dan Kongres PTWP XVIII tanggal 10-16 September 2018 di Bali opini saya pribadi tentu saja bermanfaat, bukan saja untuk mengkampanyekan hidup sehat dan bugar bagi hakim dan warga pengadilan tapi juga menggerakan roda oganisasi PTWP.Â
Hasil Kongres PTWP kemarin telah memilih Hakim Agung, Syamsul Ma’arif sebagai Ketua Umum PTWP. Kalau boleh memberi saran kelola dan maksimalkan iuran-iuran PTWP tersebut guna mengedukasi terus menerus tentang pentingnya bagi hakim dan warga pengadilan hidup bugar dan sehat. Kalau boleh usul tambahan, saya mau bukan cuma tenis yang dipertandingkan tapi cabang olahraga lainnya. Konsekuensinya nama organisasi bukan lagi Persatuan Tenis lagi. Sehingga tiap tahun atau periode tahun tertentu warga pengadilan ada pekan olahraga pengadilan. Maju terus Persatuan Tenis Warga Pengadilan, sehat dan bugar terus hakim dan warga Pengadilan. (*)
Editor: gueade