KEYAKINAN YANG MENGGERAK-GETARKAN LANGIT
M. ZUBAIDI, SH., MH.
Hakim Madya Utama PA Batang Kelas I B
Hidup, sejatinya, bukan sekadar perjalanan fisik antara pagi dan petang, antara lapar dan kenyang, antara harap dan kecewa. Ia adalah medan ujian, tempat iman diuji, kepercayaan diasah, dan kebergantungan kepada Sang Maha Pemberi diuji dalam senyap. Dalam kisah sederhana..tetapi agung..tentang seorang ayah, seorang ibu, dan anak-anak mereka yang tertidur karena lapar, kita belajar bahwa di tengah keterbatasan, ada ruang luas bagi keyakinan, dan di balik kekurangan, tersimpan kelimpahan Ilahiyyah yang tak terduga.
Syahdan..malam itu, si Ayah kembali ke rumah usai menunaikan shalat Isya. Langkah kakinya disambut senyap. Anak-anaknya telah lelap, terbuai tidur karena perut yang tak diisi. Ketika ia bertanya apakah anak-anak telah mendirikan shalat, sang Istri menjawab lirih, “mereka belum shalat, karena saya tidak memiliki makanan untuk mereka. Saya membujuk mereka tidur agar lupa pada lapar”, dengan hati yang perih namun pasrah istrinya menceritakan.
Di titik inilah tampak perbedaan antara orang yang hanya melihat realitas dengan mata, dan mereka yang memandang dengan iman. Sang Ayah, yang paham bahwa tugasnya bukan semata-mata memberi makan, tetapi juga membimbing ruh anak-anaknya menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meminta Istrinya untuk membangunkan mereka. Ia tahu, kelaparan mungkin membuat anak-anaknya menangis, tetapi meninggalkan perintah shalat jauh lebih menyakitkan bagi jiwa yang beriman.
Ketika istrinya khawatir karena tidak ada makanan untuk menenangkan tangisan mereka sang ayah menjawab dengan keyakinan kokoh: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkanku untuk menyuruh mereka shalat, bukan memberinya rezeki. Rezeki mereka bukan tanggunganku, melainkan urusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Sungguh, kalimat ini bagaikan petir dalam jiwa-jiwa yang lemah keyakinannya. Ini bukan sekadar kata-kata, tetapi puncak tawakkal, kepercayaan penuh kepada janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak pernah dusta. Ia memegang firman-Nya:
وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى ١٣٢
Artinya: “Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya. Kami tidak meminta rezeki darimu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Thaha: 132)
Maka sang ibu pun tunduk dalam iman, membangunkan anak-anaknya. Dan ketika mereka selesai menunaikan shalat, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Seorang lelaki, membawa hidangan lengkap, berdiri dengan wajah heran. Ia berkata bahwa makanan itu disiapkan untuk seorang bangsawan, tetapi karena suatu perkara, makanan itu tak dimakan dan ia bersumpah tak akan menyentuhnya. Maka ia memutuskan untuk memberikannya kepada siapa pun yang dijumpainya lebih dahulu. Kaki-kakinya menuntunnya ke rumah si Ayah. Dan ia pun berkata jujur, “Aku sendiri tidak tahu, mengapa langkahku membawaku kemari”.
Inilah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menembus logika, dan hanya dapat didekap oleh hati yang percaya akan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Qur’an surat Ath Thalaq:
….وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًاۙ ٢وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ….
Artinya: “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan barang siapa bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupi semua keperluannya ”. (QS. Ath-Thalaq: 2–3)
Kisah ini tidak hanya berbicara tentang lapar dan kenyang. Ia adalah cermin dari makna ketauhidan, bahwa manusia hanya diperintahkan untuk taat, bukan untuk mengendalikan hasil. Bahwa tugas manusia adalah berusaha menunaikan kewajiban, sementara hasilnya adalah hak prerogatif Sang Penguasa langit dan bumi.
Ketika hati bergantung pada Allah, bahkan dalam keadaan terjepit, bumi pun bisa melahirkan kejutan langit.Ketika manusia meletakkan percaya pada janji-Nya di atas segala kekhawatiran, maka langit pun bergerak. Sebab, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak membiarkan hamba-Nya yang berserah berjalan sendiri. Ia menyertai mereka yang percaya, membukakan jalan ketika tiada jalan, dan mengirimkan pertolongan dari tempat yang tak terduga.
Sang ayah, usai menerima rezeki yang tak terbayangkan, mengangkat tangannya ke langit, melafalkan doa para nabi:
رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلٰوةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۖ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاۤءِ ٤٠
Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, dan perkenankanlah doaku”. (QS. Ibrahim: 40)
Inilah puncak dari kehidupan yang diikat oleh iman. Ketika perut anak-anak kenyang, hati mereka telah lebih dahulu kenyang oleh cahaya shalat, oleh tuntunan ayah yang tidak menyerah pada dunia, dan oleh kepasrahan ibu yang merelakan kelaparan demi ketaatan.
Hikmah besar yang bisa kita semua ambil sebagai tadzkiroh dari kisah ini adalah:
“Bahwa dalam hidup, ada banyak keadaan yang tampak mustahil. Namun, bagi yang hatinya tersambung dengan Allah, mustahil adalah kata yang tak berlaku. Sebab, Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Mampu, dan Dia menyukai hamba yang percaya kepada-Nya lebih dari kepercayaan kepada diri sendiri”.
Dia Maha Mengetahui kebutuhan setiap makhluk-Nya, dan Dia tidak tidur, tidak lalai, dan tidak pernah ingkar.
Kita, di zaman yang gemerlap ini, kerap terjebak pada penghitungan dan kecemasan, pada logika yang kering dari iman. Kita lupa, bahwa rezeki bukan hanya soal kerja keras, tetapi juga keberkahan, dan keberkahan lahir dari ketaatan. Kita lupa bahwa anak-anak yang tumbuh dalam shalat, dalam siraman iman, akan lebih kokoh menatap masa depan, meski kadang dihadapkan pada kekurangan. Sebaliknya, anak-anak yang tumbuh dalam limpahan materi tanpa shalat, bisa saja kenyang jasadnya namun hampa jiwanya.
Esai ini adalah seruan sunyi, bahwa kita perlu kembali kepada kepercayaan murni. Bahwa kita harus belajar menyemai iman, seperti sang Ayah dalam kisah ini, yang tak gentar pada malam kelaparan karena yakin pada pagi yang penuh keajaiban.
Dan bahwa sejatinya, dalam hidup ini, tugas kita bukan menyelesaikan segalanya, tetapi menunaikan kewajiban sebaik-baiknya. Sisanya, biarlah Tuhan yang bekerja. Sebab, Dialah yang menggenggam segala kemungkinan, dan Dia tak akan mengecewakan hamba yang percaya.
Batang, 24 Maret 2025 M (25 Ramadan 1446 H).
MasyaaLlaah..!
WaLlaahu A’lam Bishshawab..!
W a s s a l a m .
–o0 Abu Novi Ida 0o–